Perjalanan Tanpa Arah yang Berakhir di Uma Lengge

by - Januari 24, 2021

 

Deretan Uma Lengge


Saya menoleh ke belakang, saat seorang rekan kerja tiba-tiba menepuk pundak dan bertanya,

“kemarin ke wawo ya?”

Saya dengan tatapan bingung dan menyelidik, menatapnya heran, bagimana dia bisa tahu?

“Pakai motor supra kan? Kemarin aku liat kamu boncengan ama temanmu”

“Wah, berarti Feli harus lebih hati-hati lagi nih” jawab saya dengan nada bercanda yang disambut tawa olehnya.

Rayon namanya, salah satu rekan kerja yang setahu saya juga suka travelling. Hanya saja dia punya grup travelling sendiri, begitu pula saya. Jika grup travellingnya berjumlah lebih dari lima orang, grup saya hanya berjumlah dua orang. Saya dan rekan saya bernama Yuda yang juga rekan satu kerja. Karena alasan privasi, saya dan Yuda lebih memilih untuk merahasiakan perjalanan.

Di sela istirahat kantor, pikiran saya melayang kembali ke perjalanan Wawo yang sebenarnya dibuka dengan keisengan saya mengganggu hari minggu pagi Yuda.

***

Persawahan sambinae
Pemandangan yang mirip dengan gambar gunung dan sawah yang sering kita gambar saat SD dulu


Saya menepi di jalanan Sambinae setelah sebuah ide iseng muncul. Telpon saya akhirnya diangkat setelah ketiga kalinya saya menelpon. Wajar saja, ini hari minggu, waktunya untuk tidur hingga siang setelah satu minggu bekerja.

“Halo” Terdengar suara parau dari seberang.

“Halo Yud, sorry ganggu. Feli lagi jalan nggak tentu arah dan emang nggak tahu mau kemana. Haha” Jawab saya.

“Emang lagi dimana?” Jawabnya masih dengan suara parau.

“Ini lagi di Sambinae, merhatiin sawah.”

“Sambinae? Dekat rumah aku Fel, ke depan rumah aja, yang dekat warung bakso. Tahukan?”

“Oh iya, aku tahu.”

Tak sampai sepuluh menit, saya memarkir motor di depan warung bakso dan mengirim pesan singkat pada Yuda.

Yuda muncul dengan kaos navy lengan panjang, celana jeans abu-abu dan sandal gunung khasnya. Setelah mengobrol beberapa lama, tujuan perjalanan akhirnya ditentukan, yaitu Wawo. Sebuah daerah yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya.

Dengan alasan keselamatan, mengingat saya yang tidak terlalu jago bawa motor, Yuda memilih memarkirkan motor saya di garasi rumahnya dan kami berangkat menggunakan motor supranya.

Hijaunya Jalanan Wawo

Saya sibuk mengamati jalanan sembari mendengarkan lagu dari album terbaru taylor swift, evermore, yang beberapa waktu lalu baru dirilis dan masuk dalam daftar plalylist lagu yang saya dengar berulang kali.

Yuda sesekali bercerita mengenai beberapa daerah yang sudah pernah dikunjunginya disepanjang perjalanan. Tentang daerah di atas gunung yang sempat menjadi tempat suting Bolang.

 

Jalan Wawo


Sejujurnya, saya pikir, bima hanya terdiri dari daerah panas, salah satu first impression yang sering dikatakan oleh orang yang baru pertama kali mengunjungi bima, nyatanya bima juga punya daerah dingin seperti Wawo. Saya harus akui, saya jatuh cinta dengan jalanan wawo. Hijau, mulusnya jalanan, dan pemandangan yang ditawarkan membuat saya jatuh cinta untuk perjalanan kali ini.

Beberapa spot jalan ada yang di sulap sedemikian rupa hingga menjadi spot instragamable. Beberapa ada yang membutuhkan karcis masuk, beberapa ada yang gratis.

Kamu akan menemukan sekumpulan monyet disepanjang jalanan wawo yang menunggu dengan sabar jika ada beberapa pengendara yang bersedia melempar buah, snack, susu, atau makanan lainnya. Hanya saja tak jarang monyet yang ada ikut berlari mengejar pengendara sehingga tampak seperti akan di gigit, sehingga jika tak cukup hati-hati kendaraan malah akan menabrak si monyet dan akan berujung pada kecelakaan. Jadi tetaplah waspada.

Saya menepuk pundak yuda dan mengatakan bahwa saya lapar. Jam sudah menunjukan pukul sepuluh pagi, yang saya tahu kami sama-sama belum sarapan. Yuda berhenti di sebuah warung yang menjual lalapan dan bakso yang di jaga seorang gadis dan seorang pria yang nampak seperti sedang berlatih menyanyi sambil memetik senar gitar.

 “Jadi mau kemana? Sape?” Yuda memecah keheningan setelah semangkuk bakso disantapnya tak kurang dari sepuluh menit.

Saya yang sedang menyantap bakso terdiam. Memang sedari awal ini memang perjalanan tanpa arah, bahkan tujuan akhirnya pun sampai sekarang masih belum betul-betul ditentukan. Yang hanya ditentukan adalah kami akan ke Wawo.

Sadar akan kebingungan saya , yuda memberi pencerahan “Nggak mau ke kolam renang? Dari sini lumayan dekat”.

“Sepertinya enggak, aku nggak bawa baju ganti”.

“Gimana kalau Uma Lengge? Cuma perlu balik arah dan belok kanan di gang yang udah kita lewatin”.

“Uma Lengge?” Nama yang sudah pernah saya dengar sedari SMP dan sering jadi tujuan wisata sejarah selain Asi Mbojo. Namun sayangnya sebagai anak rumahan, uma lengge masuk dalam daftar yang belum pernah saya kunjungi.

“Boleh deh”. Jawab saya mengiyakan.

Situs Wisata Uma Lengge

Tak sampai lima menit, kami tiba tepat di depan gerbang Uma Lengge. Setelah mengisi buku tamu dan menyumbang seadanya. Saya mengedarkan pandangan ke kompleks Uma lengge yang menyimpan banyak sejarah.


Gerbang Uma Lengge


Uma Lengge yang saya kunjungi terletak di Desa Maria, kabupaten Wawo. Dimana pada tahun 2011, Kompleks Uma Lengge telah dinobatkan sebagai desa budaya oleh pemerintah Kabupaten Bima.

Uma Lengge merupakan rumah tradisional dari suku Mbojo yang diperkirakan sudah ada sejak tahun  ke-12 Masehi sampai dengan tahun 1960 yang dahulunya difungsikan sebagai tempat tinggal dan lumbung padi. Namun kini hanya berfungsi sebagai lumbung padi.

Hampir 75% masyarakat Desa Maria berprofesi sebagai petani, sehingga keberadaan lumbung padi sangat penting bagi ketahanan pangan.

Uma Lengge berasal dari bahasa Bima, dimana Uma berarti rumah dan lengge berarti mengerucut. Jadi secara bahasa, Uma Lengge berarti rumah yang (atapnya) mengerucut.

Uma Lengge memiliki tiga bagian utama. Pondasi yang merupakan dasar dari uma lengge yang dimana dibuat agak tinggi untuk meghindari binatang buas. Lantai satu yang biasa digunakan sebagai tempat bercengkrama dan bermusyawarah. Lantai kedua sekaligus atap yang digunakan sebagai lumbung padi.

Jika kita mundur ke masa lalu, pada tahun 1957, terjadi kebakaran hebat di Desa Maria. Sehingga membuat pemangku kebijakan Desa Maria duduk bersama mendiskusikan masa depan Uma Lengge. Sehingga lahirlah satu lokasi khusus Uma Lengge yang saat ini dikenal sebagai Kompleks Uma Lengge.


Uma Jumpa Wawo


Di dalam Kompleks Uma Lengge, juga terdapat Uma Jompa yang berbentuk persegi yang juga berfungsi sebagai lumbung padi. Menatap Uma Jompa mengingatkan saya akan rumah kakek nenek yang sering saya kunjungi saat SD dulu.

Pembangunan Uma Lengge biasanya memakan waktu hampir setahun, bergantung dari kelancaran dana dan cuaca. Uma Lengge sendiri terbuat dari gabungan beberapa kayu diantaranya ada kayu jati, kayu dari pohon kelapa, bambu, dan atap yang ditutupi alang-alang.

Sebelum dilakukan pembangunan, biasanya dilakukan doa dan dzikir bersama yang dipimpin oleh ketua adat setempat dengan tujuan agar diberikan keselamatan oleh Yang Maha Pencipta dan bangunan uma lengge dapat bertahan lama.

Mungkin bagi beberapa orang, Uma Lengge hanya sekedar kompleks rumah dengan bentuk tradisional yang memiliki nilai sejarah. Berkunjung ke Uma Lengge bisa juga jadi tujuan membosankan untukmu karena hanya melihat jajaran rumah.

Ditambah lagi, tak ada gegap gempita, tak ada lampu kilauan yang kamu temukan saat memasuki kompleks uma lengge. Hanya hening. Ditambah ibu-ibu setempat yang menjemur padi di halaman uma lengge dalam diam.

Bisa jadi Uma Lengge hanya akan jadi tempat wisata yang esoknya sudah kamu lupa, atau tak akan bertahan lama di feed instagrammu karena jumlah like yang sedikit.

Tapi uma lengge akan selalu menemukan pengaggum rahasianya. Yang mengaggumi masyarakat Desa Maria dalam menjaga Uma Lengge. Mengaggumi konstruksi Uma Lengge yang sudah diciptakan oleh masyarakat Desa Maria bertahun-tahun lamanya dan masih bertahan hingga kini. Mengaggumi rasa saling membantu masyarakat sekitar dalam menjaga ketahanan pangan.

Tak perduli sepuluh, dua puluh menit, sejam atau berapa lama pun dirimu menghabiskan waktu di Uma Lengge. Uma Lengge akan tetap berdiri dalam kesederhanaannya dan mengajarkan nilai budaya pada generasi berikutnya.

You May Also Like

0 comments